Bekerja demi
menyelamatkan sesama manusia bukanlah hal yang mudah. Apa lagi di zaman seperti
ini, zaman di mana saat hegemoni (penguasa) dunia terus-menerus mendorong manusia untuk
hidup dalam budaya yang disebut dengan “individualis”. Semua dari kita hanya
memikirkan tentang diri sendiri.
Ke-egoisan
terus-menerus tumbuh subur dalam setiap insan. Yang hidup dalam keberadaan
terus maju menjadi kaya-raya, yang melarat tetap seperti itu nasibnya hingga
ajal menjemput mereka. Disituasi genting seperti inilah sebenarnya peran
Pemerinta benar-benar diharapkan.
Pemerinta dengan
kebijakannya, tentu benar-benar diharapkan dapat hadir sebagai penengah untuk
memutuskan mata rantai jarak pemisah anara si kaya dan si miskin, serta
mengangkat harkat dan martabat dari manusia-manusia yang sedang dipinggirkan
karena persolan lemahnya akses.
Ironisnya adalah
kebijakan pemerintah terus berjalan sendiri, mereka yang di kursi eksekutif
dan legeslatif pun berjalan
masing-masing, dari yang seharusnya merangkul malah justru saling melerai.
Bukan rahasia lagi, “keanehan” ini sudah dijadikan candu untuk menutup mata. Kebijakan mereka jarang berpihak pada rakyat jelata, jika pun
ada, itu mungkin hanya sebatas “ceremonial”
demi mengalihkan isu korupsi (berjamaha) mereka.
Ketika keadilan menjadi
persoalan penting, maka di situlah titik balik lahirnya kegelisahan. Semua
orang bertanya mengapa pemerintah tidak berpihak. Semua orang bertanya mengapa
janji hanya tinggal janji.
Anehnya lagi adalah
pemerintah bebas membiarkan peradaban modern (kapitalis) begitu bebas tumbu menjamur.
Bukankah saat ini manusia pribumi
mengharapkan sentuan perbaikan sumber daya manusia agar dapat bersaing dalam
era modern tersebut. Ah……. Sudah lah mungkin mereka (pemerintah) masih tertidur
di atas empunya tumpukan rupiah. Dan yang dibutuhkan saat ini hanyalah suatu
proses kesadaran kritis.
Berbicara tentang
kemanusiaan tentunya berbicara tentang kesadaran kritis. Beberapa waktu lalu
jelas masih teringat dalam literature-literatur bahwa di dataran Brazil
lahirlah Paolo Freire (1921-1997), yang membangun manusianya dengan mamaksa
manusianya untuk dapat berpendidikan.
Jiwa Freire memang harus ada dalam Pejabat kita di Papua (meski saat ini masih
dalam mimpi)
***
Adalah “500 Payung Peduli Mama” Gerakan yang lahir dari
pemikiran-pemikiran kritis. Gerakan ini lahir sebagai bentuk kekecewaan
terhadap rezim dan sekaligus lahir sebagai kerinduan terhadap keadilan.
Mungkin sebagian dari
kita telah mengenal wanita mudah nan pemberani ini, oleh dia kemudian pemikiran
kritis ini dirubah menjadi sebuah gerakan yang nyata. Namanya adalah Roberta
Muyapa oleh kalangan pecinta kemanusiaan Dia di panggil berta.
Peduli terhadap sesama
memang sulit saat ini, tapi di bawa bendera “500 Payung Peduli Mama” Roberta
dan teman-teman mematahkan pesimisme tersebut. Mereka dengan semangatnya
berjuang memperjuangkan hak mama-mama
Papua. Saat ini gerakan “500 Payung Peduli Mama” telah mesuk dan menggerakan
hati mahasiswa/mahasiswi asal Papua di
hampir seluruh Jawa, Bali, Sulawesi dan Papua.
Dalam sebuah percakapan
di media online, Roberta dengan sangat gamblang menuturkan bahwa, gerakan “500
Payung Peduli Mama” adalah sebuah gerakan yang lahir dari hati nurani sebagai
sebuah gerakan inisiatif pribadi. Jelas terlihat dari percakapan itu, bahwa
dalam lubuk hatinya yang paling dalam Roberta berharap suatu saat “mama-mama”
Papua dapat berjualan di tempat yang layak.
Oleh karena semangat
yang tak kenal lelah itu, akhirnya dalam waktu singgkat gerakan “500 Payung Peduli
Mama” ini, mendapat apresiasi dari sesamanya yang ternyata menyimpan kerinduan yang
sama. Roberta melanjutkan bahwa gerakan “500 Payung Peduli Mama” ini memiliki tujuan-tujuan
sebagai berikut :
1. Karna
mama-mama Papua belum mendapat perhatian
khusus terhadap akses pasar.
2. Mama-Mama
berjualan di bawah panas terik matahari dan hujan.
Sebagai seorang pejuang
keadilan, Roberta berharap daerah-daerah pemekaran yang belum terkontaminasi akibat “kegagalan
pembangunan” bisa menjadi sasaran gerakan “500 Payung Peduli Mama”, misalnya,
Paniai, Dogiyai, dan Deiyai dan beberapa daerah lainnya.
Beberapa orang-orang terdekat saya bertanya mengapa saya memilih menempuh jalan ini. Entahlah. Mungkin karena saya merasa terpanggil untuk berbuat sesuatu bagi mereka yang terpaksa tinggal di daerah konflik maupun pedalaman di Indonesia.
Sebagai seorang wanita yang hidup dalam budaya patriarki, ada tantangan tersendiri yang harus saya hadapi (dan mungkin juga dialami wanita-wanita lain yang berprofesi sama). Beberapa orang masih menganggap remeh ketangguhan wanita bila ditempatkan dalam situasi darurat atau di area pedalaman.
Tapi, saya menjadikannya motivasi untuk semakin membuktikan bahwa wanita bisa menyumbangkan sesuatu yang sama dengan pria dalam hal kemanusiaan. Saya pun sadar, setiap tindakan kita (wanita yang menjadi pekerja kemanusiaan), bisa memperlebar atau mempersempit jalan bagi wanita-wanita lain di masa depan yang ingin mengabdi untuk kemanusiaan. (Silvia Ajeng Pekerja kemanusiaan dari Wahana Visi Indonesia__dikutip dari life.idntimes.com)
Roberta menjadi salah
satu permpuan dari sekian banyak perempuan yang menjadi pembedah. Dia (Roberta)
keluar dari konstruk masyarakat bahwa pekerjaan kemanusiaan
tidak harus selalu di gerakan oleh kaum Adam. Di tangan perempuan (Roberta) membukti bahwa gerakan
kemanusiaan pun menjadi masalah serius
untuk perjuangan kaum Hawa.
Tentunya Roberta dan Kawan-kawan berharap, teman-teman pembaca dapat berpartisipasi. Untuk berpartisipasi, teman-teman sekalian dapat mengikuti alur seperti yang tertera pada gambar berikut.
Ricky
bogor 18 Juni 2017
1 komentar:
Hebat, kreatif.
Reply1. Dibutuhkan Kritik dan Saran Yang Membangun
2. Kritik dan Saran Harus Sesuai Konten Tulisan
3. Terima Kasih Telah Berkunjung
EmoticonEmoticon