Gerakan “500 Payung Peduli Mama” - Ricardus Keiya
-->

Sunday, June 18, 2017

Gerakan “500 Payung Peduli Mama”

author photo
Bekerja demi menyelamatkan sesama manusia bukanlah hal yang mudah. Apa lagi di zaman seperti ini, zaman di mana saat hegemoni (penguasa) dunia terus-menerus mendorong manusia untuk hidup dalam budaya yang disebut dengan “individualis”. Semua dari kita hanya memikirkan tentang diri sendiri.
Ke-egoisan terus-menerus tumbuh subur dalam setiap insan. Yang hidup dalam keberadaan terus maju menjadi kaya-raya, yang melarat tetap seperti itu nasibnya hingga ajal menjemput mereka. Disituasi genting seperti inilah sebenarnya peran Pemerinta benar-benar diharapkan.
Pemerinta dengan kebijakannya, tentu benar-benar diharapkan dapat hadir sebagai penengah untuk memutuskan mata rantai jarak pemisah anara si kaya dan si miskin, serta mengangkat harkat dan martabat dari  manusia-manusia yang sedang dipinggirkan karena persolan lemahnya akses.
Ironisnya adalah kebijakan pemerintah terus berjalan sendiri,  mereka yang  di kursi eksekutif dan legeslatif  pun berjalan masing-masing, dari yang seharusnya merangkul malah justru saling melerai. Bukan rahasia lagi, “keanehan” ini sudah dijadikan  candu untuk menutup mata.  Kebijakan mereka  jarang berpihak pada rakyat jelata, jika pun ada, itu mungkin hanya sebatas “ceremonial” demi mengalihkan isu korupsi (berjamaha) mereka.
Ketika keadilan menjadi persoalan penting, maka di situlah titik balik lahirnya kegelisahan. Semua orang bertanya mengapa pemerintah tidak berpihak. Semua orang bertanya mengapa janji hanya tinggal janji.
Anehnya lagi adalah pemerintah bebas membiarkan peradaban modern (kapitalis) begitu bebas tumbu menjamur. Bukankah  saat ini manusia pribumi mengharapkan sentuan perbaikan sumber daya manusia agar dapat bersaing dalam era modern tersebut. Ah……. Sudah lah mungkin mereka (pemerintah) masih tertidur di atas empunya tumpukan rupiah. Dan yang dibutuhkan saat ini hanyalah suatu proses kesadaran kritis.
Berbicara tentang kemanusiaan tentunya berbicara tentang kesadaran kritis. Beberapa waktu lalu jelas masih teringat dalam literature-literatur bahwa di dataran Brazil lahirlah Paolo Freire (1921-1997), yang membangun manusianya dengan mamaksa manusianya untuk dapat  berpendidikan. Jiwa Freire memang harus ada dalam Pejabat kita di Papua (meski saat ini masih dalam mimpi)
***
Adalah  “500 Payung Peduli Mama” Gerakan yang lahir dari pemikiran-pemikiran kritis. Gerakan ini lahir sebagai bentuk kekecewaan terhadap rezim dan sekaligus lahir sebagai kerinduan terhadap keadilan.
Mungkin sebagian dari kita telah mengenal wanita mudah nan pemberani ini, oleh dia kemudian pemikiran kritis ini dirubah menjadi sebuah gerakan yang nyata. Namanya adalah Roberta Muyapa oleh kalangan pecinta kemanusiaan Dia di panggil berta.
Peduli terhadap sesama memang sulit saat ini, tapi di bawa bendera “500 Payung Peduli Mama” Roberta dan teman-teman mematahkan pesimisme tersebut. Mereka dengan semangatnya berjuang memperjuangkan hak  mama-mama Papua. Saat ini gerakan “500 Payung Peduli Mama” telah mesuk dan menggerakan hati  mahasiswa/mahasiswi asal Papua di hampir seluruh Jawa, Bali, Sulawesi dan Papua.
Dalam sebuah percakapan di media online, Roberta dengan sangat gamblang menuturkan bahwa, gerakan “500 Payung Peduli Mama” adalah sebuah gerakan yang lahir dari hati nurani sebagai sebuah gerakan inisiatif pribadi. Jelas terlihat dari percakapan itu, bahwa dalam lubuk hatinya yang paling dalam Roberta berharap suatu saat “mama-mama” Papua dapat berjualan di tempat yang layak.
Oleh karena semangat yang tak kenal lelah itu, akhirnya dalam waktu singgkat gerakan “500 Payung Peduli Mama” ini, mendapat apresiasi dari sesamanya yang ternyata menyimpan kerinduan yang sama.  Roberta melanjutkan bahwa gerakan  “500 Payung Peduli Mama” ini memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut :
1.      Karna mama-mama Papua belum mendapat  perhatian khusus terhadap akses pasar.
2.      Mama-Mama berjualan di bawah panas terik matahari dan hujan.
Sebagai seorang pejuang keadilan, Roberta berharap daerah-daerah pemekaran yang belum terkontaminasi akibat “kegagalan pembangunan” bisa menjadi sasaran gerakan “500 Payung Peduli Mama”, misalnya, Paniai, Dogiyai, dan Deiyai dan beberapa daerah lainnya.
Beberapa orang-orang terdekat saya bertanya mengapa saya memilih menempuh jalan ini. Entahlah. Mungkin karena saya merasa terpanggil untuk berbuat sesuatu bagi mereka yang terpaksa tinggal di daerah konflik maupun pedalaman di Indonesia.


Sebagai seorang wanita yang hidup dalam budaya patriarki, ada tantangan tersendiri yang harus saya hadapi (dan mungkin juga dialami wanita-wanita lain yang berprofesi sama). Beberapa orang masih menganggap remeh ketangguhan wanita bila ditempatkan dalam situasi darurat atau di area pedalaman.
Tapi, saya menjadikannya motivasi untuk semakin membuktikan bahwa wanita bisa menyumbangkan sesuatu yang sama dengan pria dalam hal kemanusiaan. Saya pun sadar, setiap tindakan kita (wanita yang menjadi pekerja kemanusiaan), bisa memperlebar atau mempersempit jalan bagi wanita-wanita lain di masa depan yang ingin mengabdi untuk kemanusiaan. (Silvia Ajeng Pekerja kemanusiaan dari  Wahana Visi Indonesia__dikutip dari life.idntimes.com)
Roberta menjadi salah satu permpuan dari sekian banyak perempuan yang menjadi pembedah. Dia (Roberta) keluar dari konstruk masyarakat bahwa pekerjaan kemanusiaan tidak harus selalu di gerakan oleh kaum Adam.  Di tangan perempuan (Roberta) membukti bahwa gerakan kemanusiaan pun  menjadi masalah serius untuk perjuangan kaum Hawa. 




Tentunya Roberta dan Kawan-kawan berharap, teman-teman pembaca dapat berpartisipasi. Untuk berpartisipasi, teman-teman sekalian dapat mengikuti alur seperti yang tertera pada gambar berikut. 

Sumber//Roberta design
Ricky 
bogor 18 Juni 2017

1 komentar:

1. Dibutuhkan Kritik dan Saran Yang Membangun
2. Kritik dan Saran Harus Sesuai Konten Tulisan
3. Terima Kasih Telah Berkunjung
EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post