Kita Sendiri Yang Membunuh Nya - Ricardus Keiya
-->

Monday, February 29, 2016

Kita Sendiri Yang Membunuh Nya

author photo
Menulis Fenomena Tentang Papua
Lamunan ku terbang jauh menembus sisi lain di langit ke tujuh.  lamunan yang sangat jauh, benar-benar jauh. Tak dapat lagi di capai, tak dapat lagi di lihat, dia menghilang di balik lapisan langit biru, dan ketika itu ku sadar bahwa ini hanyalah soal  ego dan kejujuran.  

Kini ku tau, bagaimana rasanya sakit itu. Kini ku tau bagaima pedihnya rasa itu. Dapat kurasakan dengan jelas pedih itu. Pedih ketika salah paham dan ego membunuh rasa yang tak bersalah. 

Di sini, air mata itu terus mengalir, terbungkus rapi dibalik gagahnya ego yang kita  bangun. 
kita berdiri menjadi masing-masing. Ego Mu terus membara ketika ego ku tak mampu ku bendung. Khilaf ku menghilang  ketika akal sehat mu membunuh khilaf mu. Kita lagi-lagi menjadi masing-masing.

Kini jarak antara senyum mu dan senyum ku itu, dengan mudah dapat mengadu-domba rasa kita, rasa yang konon kita bangun dengan perang yang  begitu sengit.

Sekarang kebahagian yang kita miliki itu sedang hancur di hadapan kita. Dan lagi-lagi kita hanya menonton. Menyaksiksakan kebahagian itu hancur berantakan. Kita pergi dan  memilih menutup mata serta kuping. Kita berpura-pura tidak menyaksikan bahwa kebahagian kita sedang hancur. Dia butuh pertolongan, tapi kita tetap berpaling dan lari menjauh

Sangat di sayangkan bahwa setitik noda yang kita hasilkan itu, dengan muda mampu menghancurkan sebelanganga susu yang kita miliki.


Saat ini, kita telah berdiri menjadi masing-masing. Kau melepaskan bagian mu dari ku, ketika itu saya pun berlaku sama. Yang ada kita hanya memperkaya diri dengan ego, tanpa melihat kembali jalan panjang dan berliku yang telah kita lalui.

***

Hidup ini seharusnya  di bangun dengan kebahagiaan. duluh kita perna memiliki kebahagiaan, dan kebahagiaan itu sering kita genggam, tapi sekarang entalah. Kebahagiaan itu pergi. Pergi entah ke-mana. pertanyaannya adalah , Apa yang  mau kita cari  ?  bukankah  kebahagian itu telah kita bunuh bersama ? 

***

kau dan aku, kita, sama-sama melakukan kejahatan yang sama. Kita membunuh kebahagian yang tak bersalah itu.  Kita membunuh kebahagian yang telah kita bangun.

Kamu jahat, sangat jahat, aku juga sebagai seorang laki-laki tak pantas ku samatkan gelar kepala keluarga. Yang ku lakukan bukanlah cerminan seorang Imam.

Dan yang lebi parah adalah di saat ku butuh kau untuk merubah ku, ternyata kata maaf ku tak ada lagi artinya. Lagi-lagi aku tak dapat menemukan identitas ku sebagai seorang nahkoda.  


Disaat diri mu datang di hadapan ku dengan tangisan yang membasai sekujur tubuh mu, aku hanya menganggap mu bermain sandiwara, dan dengan suara tegas nan lantang,  lalu ku teriakin “ kau pembohong, jangan bersembuny di balik tangisan Mu, muak aku melihat mu”. Ternyata aku memang panjahat yang memberikan ciuman . Mencium mu ketika  ku genggam seluru angkara murka di sisi gelap ku yang lain. 


Di sini, kamu dan aku sama-sama menjadi yang paling benar, tidak ada di antara kita yang dapat disalahkan.

Disni kamu dan aku sama-sama menjadi salah dan  tidak ada yang dapat di benarkan.

Di mata mu, kau  yang benar, di mata ku pun, aku yang benar. Semua yang kau katakana, bagi ku salah. semua yang ku katakana juga salah di mata mu.  kita seakan pergi meninggalkan rasa itu. Rasa yang telah kita perjuangkan bersama. 

yah........ini lah ego kita, harus ku akui itu. 

***
Jujur  sekarang Ku tak tau lagi bagaimana rasanya tertidur dengan tenang. Yang ada hanyalah cekikan nafas. Yang ada hanyalah kegelisaan .

Keringat di malam hari bukan lagi jarang. Dia sudah menjadi sahabat ku untuk beberapa hari belakang ini. Aku tebangun dari pagi hingga pagi berikut. Dan kebiasaan itu sudah bukan lagi menjadi hal yang aneh.

Fokus ku terbang bersama lamunan. Bagi ku, sangat mahal harganya, jika ku harus menutupkan mata ku, meski itu hanya sedetik beristirahat.

Saat ini, sebenarnya Aku yakin mungkin di sana kau pun berlaku sama. Merasakan hal yang sama dengan yang ku rasakan disini. Merasakan betapa tiba-tiba hidup menjadi beban terberat yang perna ada dalam sejarah hidup mu.  Ku yakin itu. Sangat yakin. 

Ku yakin fokus mu untuk dunia mu pasti berntakan. Jika iya, maka dalam tulisan ini, dengan rendah hati, dengan tidak pantas, dengan rasa hina ini, aku ingn meminta maaf. Maaf sayang. Maaf untuk segala ego ku. Maaf. Maaf.  Maaf atas kelemahan ku sebagai seorang lelaki. Maaf untuk tidak menjaga mu dengan baik.

Kini ku tauh bagaimana rasanya makan ketika suasana hati sedang berperang. Makan seakan menjadi hampa ketika lapar menghampiri sisi dekat pertut. Tubuh ku lapar tetapi  mulut ini tak mampu mendorong nya. Semuanya yang masuk berubah menjadi racun.

Ku mencoba berdiam dan membisu di ujung kota ini. Ku sadar dengan segenap jiwa ku. Ego ini ku bangunkan sendiri.

Dan sekarang, di saat ini. ego ku itu berdiri gagah untuk menari, menari karena dia berhasil membuh kebahagiaan ini.

Saya minta maaf, maaf Melia Catherine, maaf. Maaf.  Mungkin kamu benar bahwa di ruang tertentu aku tidak pantas diperjuangkan. Kamu pantas untuk berburu kebahagian yang hakiki untuk mu.

Terlepas dari itu semua, aku hanya ingin mengatakan sampai kapan pun aku akan menyayangi mu dan tak akan perna ku lepaskan genggaman ku.

Melia  sayang, maaf ya.

Mari kita intropeksi diri, biarkan waktu yang akan mengantarkan kita pada kebahagiaan kita.

ricky, bogor 01 Maret  2016 // 04.16 PM







This post have 0 komentar

1. Dibutuhkan Kritik dan Saran Yang Membangun
2. Kritik dan Saran Harus Sesuai Konten Tulisan
3. Terima Kasih Telah Berkunjung
EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post