sumber internet (diolah ) |
Oleh
PROF DR SULISTYOWATI IRIANTO, GURU BESAR FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA (Kompas) 23 Mei 2017
***
Maraknya gerakan politik praktis sektarian di universitas akhir-akhir ini, mengatasnamakan dan membawa panji universitas, dilakukan di dalam maupun di luar kampus oleh sebagian dosen dan mahasiswa; patut dipersoalkan karena menodai marwah universitas dan meresahkan masyarakat luas.
HANDINING
Terlebih, universitas negeri yang kelahirannya melekat dengan sejarah perjuangan bangsa memiliki amanah khusus dalam menjadikan Pancasila sebagai prinsip tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, dan merujuk Konstitusi sebagai pedoman utama berperilaku. Masyarakat luas kehilangan kepercayaan dan mempertanyakan mengapa hal ini bisa terjadi, ke manakah para otoritas pendidikan tinggi di negeri ini?
Terlebih, universitas negeri yang kelahirannya melekat dengan sejarah perjuangan bangsa memiliki amanah khusus dalam menjadikan Pancasila sebagai prinsip tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, dan merujuk Konstitusi sebagai pedoman utama berperilaku. Masyarakat luas kehilangan kepercayaan dan mempertanyakan mengapa hal ini bisa terjadi, ke manakah para otoritas pendidikan tinggi di negeri ini?
Lebih jauh, di manakah di dunia ini, universitas yang tidak membela Konstitusi dan norma tertinggi bangsanya? Dan apabila universitas mengingkari Konstitusi dan roh kebangsaannya sendiri, maka sudah merupakan anomali. Apalagi, universitas (negeri) dibiayai hidupnya oleh pajak rakyatnya; bagaimanakah tanggung jawab universitas terhadap publik?
Gerakan politik sektarian di universitas adalah ahistoris karena menentang raison d’etre berdirinya Republik Indonesia, yang diperjuangkan oleh pendiri bangsa. Deklarasi penting Sumpah Pemuda 1928 mengingatkan kita. Para pemuda/pemudi dari berbagai ”nasion kecil” berbasis kesukubangsaan (Harsya Bachtiar, 1976) bersumpah setia berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu: Indonesia.
Sumpah Pemuda adalah fondasi sangat penting menuju proklamasi kemerdekaan 1945 dan diikuti banyak peristiwa kebangsaan lain; yang perumusan kelangsungan berbangsa dan bernegara selanjutnya dilegalisasi dengan berbagai produk hukum yang berpayung kepada Konstitusi sampai hari ini.
Gerakan tersebut juga mencederai universitas sebagai gerakan moral tempat lahirnya produksi ilmu pengetahuan, yang memiliki otonomi akademik, dan oleh karena itu berkedudukan sangat khusus, tidak bisa disamakan dengan lembaga mana pun, termasuk lembaga politik maupun bisnis. Universitas memegang amanahnya sebagai penjaga gerbang kebenaran, dan para ilmuwan dengan kapasitas intelektual yang ada padanya berkewajiban ikut mengatasi berbagai persoalan masyarakat dan bersikap kritis.
Apabila terjadi pengingkaran terhadap mandat universitas, artinya otonomi akademik telah salah digunakan.
Kebebasan berpendapat, berekspresi, sama halnya dengan kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan sebagai elemen penting dalam berdemokrasi memang dijamin oleh undang-undang (Pasal 18, Kovenan Hak Sipil dan Politik, diratifikasi oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005). Namun, kebebasan ini menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus sampai pada batas untuk menghormati hak/nama baik orang lain, melindungi keamanan nasional/ketertiban umum, atau kesehatan/ moral umum (Pasal 18 Ayat 2).
Terlebih dalam Pasal 20 dinyatakan bahwa: (1) segala propaganda untuk perang harus dilarang oleh hukum, (2) segala tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras, atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan harus dilarang oleh hukum.
Universitas kita saat ini
Universitas dan sivitas akademika kita saat ini sibuk menggemakan world class university ranking. Pimpinan struktural di universitas sibuk mengejar capaian prestasi, mengikuti standar universitas dunia, yang dicanangkan oleh kebijakan Kementerian Ristek dan Dikti. Setiap dosen diharuskan berderap mengikuti barisan pencapaian prestasi yang ditandai oleh karya ilmiah, terutama berindeks Scopus, apabila ingin bisa naik pangkat dan mendapatkan remunerasi, dengan segala sanksinya. Selama ini para dosen dan profesor dianggap ”malas”, kurang berprestasi, padahal sudah digaji, sehingga kebijakan yang ketat harus diterapkan.
Tentu saja, adalah keharusan bagi setiap dosen untuk berprestasi bagi universitas dan bangsanya, melalui berbagai temuan ilmiah berkualitas dalam bidang sains, teknologi, ilmu sosial, dan humaniora. Namun, bagaimanakah caranya menumbuhkan budaya kasmaran pada ilmu pengetahuan? Tepatkah mendorong prestasi seorang ilmuwan pemikir, dengan membuat sejumlah peraturan administratif beserta sanksi semata? Bukankah yang dibutuhkan adalah kebijakan yang kondusif dalam mengimplementasikan otonomi universitas dan pembiayaan kegiatan akademik yang tak terkendala aturan administratif, yang pengelolaannya mengedepankan transparansi dan akuntabilitas publik.
Menumbuhkan suatu budaya akademik adalah menumbuhkan dan merawat cara berpikir, berpengetahuan, dan bernorma, yang metodenya tidak bisa instan, seperti yang dilakukan saat ini. Budaya akademik yang esensial harus dimulai dari cinta Tanah Air, kesadaran akan tanggung jawab terhadap kelangsungan hidup kemanusiaan, memastikan kesejahteraan jasmani dan rohani serta keadilan substantif bagi segenap bangsa Indonesia dan umat manusia.
Lupa mandat
Tampaknya, karena kesibukan administratif mengejar ranking dan prestasi kelas dunia itu, universitas lupa mandatnya menanam dan menumbuhkan nilai-nilai kebangsaan, kemanusiaan, serta penghormatan terhadap perbedaan dan keragaman, sebagaimana diamanatkan Konstitusi dan falsafah Pancasila.
Universitas, petinggi kementerian yang paling bertanggung jawab, terkesan membiarkan, atau tidak menganggap penting, keadaan darurat terkoyaknya kebangsaan kita saat ini. Sudah jelas bahwa bangsa Indonesia berdiri di atas keragaman ras, suku bangsa, bahasa, dialek, agama dan keyakinan, golongan politik, kelas, dan jender; bahkan pluralitas menjadi karakternya yang khas yang membedakan dengan bangsa lain.
Keragaman yang memang tecermin miniaturnya dalam kehidupan universitas, di mana dosen dan mahasiswa berasal dari keragaman tersebut. Apabila keragaman itu diingkari, bahkan terancam, universitas sudah kehilangan wibawanya. Bahkan, universitas beserta organ-organ di dalamnya dapat dianggap telah lalai untuk ikut dalam upaya menyelamatkan keutuhan bangsa dan panggilan Tanah Air.
Dalam masyarakat, terdapat silent majority, yang amat resah, gelisah, menyaksikan kegentingan karena memuncaknya kasus-kasus intoleransi dan mayoritarianisme, yang juga sudah merayap sampai ke lembaga-lembaga penegakan hukum Indonesia saat ini (Lindsey & Pausacker, 2016). Masyarakat yang jumlahnya justru mayoritas itu lebih banyak berdiam diri.
Mereka tidak terbiasa menyuarakan aspirasi dan kegundahannya dengan cara-cara pengerahan massa, menyerang dengan kata-kata keras dan kasar, apalagi dengan menginstrumentasi sentimen keagamaan. Hanya sebagian kecil yang berani bersuara di media sosial, tetapi sebagian besarnya lagi memilih diam. Mereka sangat menantikan datangnya kekuatan dari universitas, soko guru kekuatan bangsa, tetapi tidak kunjung hadir, malahan sebagian sivitasnya ikut mempropagandakan gerakan sektarian.
Insan akademik dan masyarakat silent majority harus berani dan bergandengan tangan menyuarakan keberpihakannya kepada keindonesiaan, terlebih ketika negara diam dan abai menyikapi darurat kebinekaan. Para dosen dan mahasiswa harus memperjuangkan merah putih sejak dari pikiran, serta bersedia mendedikasikan pengabdian dan seluruh kehidupan sosialnya hanya untuk keindonesiaan. Dukunglah negerimu, perkuatlah barisan para pemimpinnya agar terbangun dari tidurnya.
Para pemimpin negeri dituntut bersikap tegas membela Konstitusi dan Pancasila, tindakan mana dibenarkan oleh hukum. Bahkan, Pasal 4 Kovenan Hak Sipil dan Politik membolehkan tindakan negara dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya. Setelah diumumkan secara resmi, negara peratifikasi dapat mengambil langkah yang diperlukan berdasarkan hukum, justru sebagai upaya untuk melindungi keragaman ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, atau asal-usul sosial.
Kita harus sampai pada perayaan seratus tahun kemerdekaan pada tahun 2045 serta ikut menyongsong dan menikmati kemakmuran Asia bersama dengan negara-negara Asia lain pada tahun 2050. Ibu Pertiwi, Ibu Tanah Air, wajib kita muliakan selama hayat dikandung badan.
SULISTYOWATI IRIANTO, GURU BESAR, FAKULTAS HUKUM U.I.
sumber (Kompas/Wa)
This post have 0 komentar
1. Dibutuhkan Kritik dan Saran Yang Membangun
2. Kritik dan Saran Harus Sesuai Konten Tulisan
3. Terima Kasih Telah Berkunjung
EmoticonEmoticon