Hidup dengan Kearifan |
Program MIFFE diharapkan dapat membantu pemerintah menekan jumlah impor bahan pangan, dan membangun stabilitas ketahanan pangan dari ancaman krisis pangan dunia. Oleh sebab itulah kemudian Program MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) lahir sebagai solusi dari krisis 3F dan 2 C (food, feed, fuel, and climate changes) tersebut. Sebagai langkah awal, dipilihlah Merauke, karena Merauke diyakini memiliki potensi jutaan hektar lahan untuk dapat diguna untuk mendukung program Food Estate tersebut.
Bentuk Protes |
MIFEE merupakan program pengembangan pangan dan energi yang dikelola secara terpadu di wilayah Merauke, Provinsi Papua. Gagasan MIFEE dimulai dari proyek Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) yang digagas Bupati Merauke, John Gluba Gebze pada tahun 2007. Selanjutnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 5 tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi tahun 2008–2009, lalu meminta Menteri Pertanian mengeluarkan kebijakan pengembangan food estate di wilayah paling ujung timur Indonesia itu
MIFFE memberikan “iming-iming” bahwa Indonesia suatu saat dapat menjadi Negara yang adidaya dalam persoalan ketahanan pangan. Namun sepertinya mega proyek tersebut dibangun tanpa memperdulikan keberlanjutan masyarakat lokal (suku malind anim) sebagai pewaris tunggal tanah adat tersebut. Sebenarnya jika dicermati secara lebih mendalam, maka tentu saja MIFFE dapat dilihat sebagai pembawa petaka, baik bagi Suku Malind maupun suku-suku lain di kampung-kampung yang terkena proyek MIFFE.
Eko Cahyono dan YL. Franky (2016;934) dari Sajogyo Institute mengatakan bahwa, MIFFE hadir membawa petaka, baik bagi Suku Malind maupun beberapa suku di di Merauke. MIFFE tidak hanya berdampak secara ekonomi dengan penciptaan kemiskinan baru, tetapi juga menimbulkan krisis sosial-ekologis: konflik horizontal, kekerasan, kejahatan, kriminalisasi, pelecehan seksual, dan krisis air bersih, hilangnya sumber pangan lokal, perubahan mata pencaharian, dan beragam kerusakan ekologis lainnya.
Masalah paling urgen yang muncul akibat MIFFE adalah adanya perampasan hak hidup (pelanggaran hak asasi manusia) yang bahkan dimotori oleh Negara melalui Aparat militer. Dengan demikian, efek langsung dari MIFFE telah menciptakan perampasan ruang hidup yang multidimensi bagi Suku Malind dan suku-suku lainnya di sekitar Merauke yang terkena proyek MIFFE.
Kasus seperti ini tidak hanya terjadi pada Masyarakt adat di Merauke, tetapi hampir seluruh Indonesia. Saat ini, konflik agrarian di Indonesia telah tumbuh subur dan menjamur. Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyebutkan, ma sih ada sekitar 8000 kasus konflik pertanahan yang belum terselesaikan. Sepanjang 2014, Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat terjadi sedikitnya 472 konflik agraria di seluruh Indonesia dengan luasan mencapai 2.860.977,07 hektar. Konflik ini melibatkan sedikitnya 105.887 kepala keluarga . Laporan terkini lainnya dari Sajogyo Institut pada tahun 2014-2015 menemukan bahwa, ada sekitar 40 kasus konflik agrarian mulai dari sabang hingga ke merauke. Konflik agrarian ini berhubungan dengan hutan adat masyarakat.
Perjuangan Masyarakat Hukum Adat (MHUMHA) untuk berdiri dan berdaulat di atas tanah, air dan dan ruang hidupnya merupakan perjuangan dari sebagaian rakyat untuk merdekan sebagai warga Negara Indonesia seutuhnya.
Kini, sekitar 70 juta, atau sekitar 20 % (dari total penduduk Indonesia) MHA hidup di seluruh nusantara dan lebih dari separuhnya hidup dan bergantung dari sumberdaya di kawasan hutan. Lantas apa yang akan terjadi jika kemudian hutan adat mereka di “rampas” semenah-menah oleh penguasa dan pemodal.
Dikutip dari laporan Sajogyo institute (2016), Orang Marind atau juga dikenal sebagai Orang Malind merupakan salah satu suku besar yang mendiami wilayah selatan Provinsi Papua, yaitu Merauke. Selain Marind, kelompok suku besar lain yang mendiami belahan selatan Pulau Papua , yaitu Muyu, Mandobo, Mappi, Auwyu, Asmat, dan beberapa suku lain.
Jauh sebelum peradaban modern masuk dan menjamah kehidupan masyarakat adat di Merauke, Masyarakat marind sebenarnya telah memiliki konsep tentang tanah marga dan tanah suku, dimana nilai-nilai tentang pengelolahan tanah tersebut telah lama dijalankan sesuai dengan kebiasaan dan kearifan lokal mereka dari sini lah kemudia sumber ekonomi dan penghidupan dikelolah oleh masyarakat tersebut. Oleh karena itu penting sekali untuk melihat bagaimana keberlanjutan MHA suku malind setalah adanya MIFEE di merauke
Baca Juga : Hancurnya Papua Barat Karena Sawit
***
Ini adalah tulisan saya yang saya bagikan dari tugas saya di kampus
By Keiya
This post have 3 komentar
Mantap. Tulisannya informatif, kawans. Keberlanjutan MHA??
ReplySiap2 gan
ReplyKren tua.....
Reply1. Dibutuhkan Kritik dan Saran Yang Membangun
2. Kritik dan Saran Harus Sesuai Konten Tulisan
3. Terima Kasih Telah Berkunjung
EmoticonEmoticon